seperti memutar ulang rekaman kejadian selama seharian penuh. Dari detik pertama hingga setiap putaran waktu yang berlalu, dari kedipan mata pertama setelah bangun tidur sampai kembali mata ini terpejam kembali, dan dari setiap helaan nafas yang terus berhembus tak hentinya, juga dari hitungan awal langkah, gerak raga, dan lontaran kata hingga sebelum habisnya malam.
Kemudian hitunglah satu persatu perbuatan baik sepanjang hari ini, dimulai dari langkah untukHeningkanlah waktu sejenak untuk sekedar mereview lintasan peristiwa hari ini semenjak menapakkan kaki dari atas tempat tidur sampai sebelum kembali merebahkan diri. Kemudian hadirkan lintasan itu dalam bayangan yang teramat jelas, sehingga kita s membasuh muka di sepertiga malam, dan menundukrukuk di hamparan sajadah, mungkin ada butiran-butiran air bening mengalir membasahi pipi, bahkan hingga menjelang fajar pun masih tergenang sisa-sisa air itu di kelopak mata. Lalu kita lanjutkan langkah ini keluar rumah untuk mencari rezeki, mencari ilmu, menyusur jalanan seharian. Berapa banyak dzikir terbilang dari mulut kita sepanjang jalan, berapa banyak permohonan ampunan kita bersama tangan-tangan tertadah. Ketika terdengar panggilan-panggilan-Nya, bukan cuma seberapa banyak atau lamanya merapatkan kening ini, melainkan juga kesungguhan untuk melepaskan semua kepentingan untuk berserah diri kepada Rabb sebagai sebuah kepentingan yang utama, melainkan seberapa besar khidmat ini dalam kekhusu’an menjadikan diri sebagai abdi-Nya dengan menanggalkan segala urusan yang tak jarang membiaskan makna ketuhanan kita.
Hadirkan pula wajah-wajah orang yang kita santuni hari ini dengan infaq, shodaqoh yang sengaja kita sisihkan untuk mereka. Mungkin juga langkah-langkah kebaikan yang kita tempuh, gerakan-gerakan tangan yang melakukan berbagai kebajikan, atau sekedar isyarat-isyarat kecil dari seluruh anggota tubuh ini yang melambangkan penghambaan kepada Rabb yang esa. Ingatlah kembali setiap rangkaian do’a yang tersusun rapih di setiap waktu, bersamaan dengan itu, untaian kata hikmah dan nasihat kebenaran tak luput dari ingatan kita. Sehingga semua amal shaleh sekecil apapun mampu kita putarulang untuk kemudian kita menjadikannya sebagai persembahan yang menurut kita berharga di hadapan-Nya, sebagai perbekalan yang kita anggap sudah mencukupi untuk perjalanan negeri akhirat.
Adakah yang terlewat dalam putaran rekaman peristiwa itu? Atau adakah yang terlupa dalam lintasan-lintasan kejadian kehidupan ini? Jelas dan tentu saja ada dan bahkan seringkali kita melupakan atau dengan sengaja menghapusnya. Bagaimana dengan perbuatan-perbuatan buruk yang tidak kita sadari menyertai setiap lintasan kebaikan itu? Maka kemudian, untuk mengetahuinya, ambillah kembali rekaman itu dan putarlah kembali dari awal. Semenjak mata terbuka hingga kembali terpejam, sejak langkah awal hingga kembali keatas pembaringan, semuanya, selama nafas terus berhembus, dalam setiap kedipan mata dan semua kata yang terucap.
Adakah terbersit rasa diri paling shaleh dalam setiap berdiri, sujud dan rukuk yang kita lakukan sehari-hari. Mungkinkah tak pernah terlintas –karena merasa paling banyak beribadah- dalam benak ini memastikan diri masuk ke surga-Nya. Meski padahal kita sangat sadar bahwa Allah-lah sang penentu kepastian. Kemudian bagaimana dengan pikiran-pikiran, gerak dan langkah kita yang terkadang mengkesampingkan keberadaan-Nya sementara lidah ini terus melafazkan dzikir. Adakah riya’, ujub, sombong dan bangga diri mengiringi setiap perbuatan baik, setiap uluran tangan, dan setiap langkah kebajikan kita.
Kalaupun sudah banyak jumlah rakaat yang kita lakukan, sudahkah terus semakin kita perbaiki kualitasnya. Jika pun sudah sekian banyak shodaqoh terhulur dari tangan ini, sudahkah kita melakukannya diatas bingkai keikhlasan serta berkesinambungan. Andainya pun sudah membludaknya genangan airmata karena rasa takutnya akan adzab Allah, sudahkah kita mengikutinya dengan kesungguhan menjauhkan diri dari segala yang menimbulkan murka-Nya. Semestinyalah kita menyadari bahwa goretan-goretan hitam dalam lembaran kehidupan ini akan mengurangi nilai perbuatan baik kita. Seharusnya semakin kita sadari bahwa lintasan kelam yang menyertai ukiran indah amal shaleh kita akan memberatkan timbangan kita ke arahseberangkebajikan.
Maka teruslah memperbanyak sekaligus meningkatkan kualitas ibadah kita karena kita tak pernah tahu ibadah mana yang diterima Allah. Perbanyaklah lafaz dzikir kita karena kita juga tak bisa memastikan berapa banyak dzikir kita yang sampai kepada-Nya karena terlalu seringnya kita menyebut nama Allah dari bibir yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh mengucapkannya, dari hati yang tidak juga bergetar saat menyebutnya. Perbanyak jugalah infaq shodaqoh kita, karena kitapun tak pernah bisa menilai uluran tangan kita yang mana yang bisa menghantarkan kita kepada pintu surga-Nya. Utamakanlah hikmah dan kebaikan yang keluar dari mulut kita dengan mengurangi kemungkinan kata-kata cela, fitnah, juga hati yang penuh dengki, iri dan dari rasa yang tak pernah puas diri, syukur, tawadhu’ dan qonaah, karena kita pun tak kan bisa menerka sikap diri yang manakah yang akan menyelamatkan kita dari api neraka Allah. Wallahu ‘a’lam bishshowaab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar