Ibarat seorang anak yang baru pertama kali memasuki dunia sekolah, dihari pertamanya, berbagai perasaan bergelut dibenak dan di setiap rongga dadanya. Antara cita-cita yang menggebu dengan kecemasan seperti bertarung memposisikan diri untuk bersemayam mendominasi perasaannya.
Begitu juga antara imajinasi keceriaan dunia baru dan bayang-bayang orang-orang asing yang bakal mengelilinginya, antara semangat berprestasi dengan phobia ketidakmampuan mengikuti sistem, peraturan dan persaingan di dalam kelas. Perasaan yang hampir sama meski tidak terlalu persis juga menggelayuti para pelajar dan mahasiswa yang tengah menghadapi ujian akhir guna membuktikan apakah mereka berhasil atau gagal setelah sekian tahun berkutat dengan buku. Juga tidak berbeda yang dialami oleh para pelamar kerja yang menjalani test penerimaan calon pegawai, eksekutif yang harus melewati ujian kenaikan jabatan atau para profesional yang mempersiapkan presentasi hasil karya mereka.
Itulah hidup, penuh dengan segala macam ujian, cobaan yang kerap bahkan senantiasa datang. Mau tidak mau, suka tidak suka setiap yang hidup pasti melewatinya. Karena menjalani hidup itu juga berarti perjuangan melewati seluruh fasenya hingga sampai waktunya kita berhenti dan berakhir. Ada yang mengakhirinya secara alami ada juga yang ‘mendahului’ waktu sebenarnya dengan mengakhiri hidup ditangan sendiri yang tak berdaya meregang keputusasaan, menanggung kekalahan hidup yang memalukan.
Di negara-negara Eropa yang menjadikan kesuksesan bisnis dan profesionalisme sebagai ukuran keberhasilan seseorang, Anda tidak akan menganggap aneh ketika mendapati orang-orang berdasi, mereka yang pernah sukses atau karirnya menjulang, harus mengakhiri hidup dengan terjun bebas dari lantai tertinggi apartemen atau gedung tempat mereka bekerja. Jepang, negeri yang terkenal dengan semangat hidup pantang menyerah dari masyarakatnya, sehingga menjadikan negeri Sakura itu Macan Asia saat ini, hingga kini masih mencatatkan rekor terbesar bunuh diri dan sudah lazim diketahui bahwa sebagian besarnya adalah orang-orang muda yang penuh energik menjadikan prestasi dan kesuksesan diatas segalanya. Sehingga ketika wajah mereka harus tercoreng oleh satu kegagalan yang dianggap biasa di negara kita, harakiri adalah jalan mulia bagi mereka ketimbang menanggung malu.
Untuk mudah mengetahui berbagai tipikal orang menghadapi cobaan, datanglah ke rumah sakit. Mungkin ada yang mengira ini terlalu menyederhanakan definisi cobaan hidup. Tapi cobalah, anda akan menemui orang yang meraung-raung tak ingin segera mati, meringis menahan perihnya luka, menangis tak henti akibat penyakit yang tak membaik meski sudah habis semua harta. Mereka berteriak, mencaci Tuhan atas dalih ketidakadilan, atau merasa menjadi makhluk yang dihinakan Tuhan dengan penyakit itu. Namun di ruang lain, ada juga yang terus tersenyum meski virus ganas kanker terus menggerogoti satu persatu anggota tubuhnya hingga tak bedanya ia dengan tengkorak hidup, ada yang tetap tegar meski waktunya hidup di dunia sudah bisa diprediksikan, mereka sabar, ikhlas menerima dan menjalani cobaan. Bahkan sebagian mereka sangat tahu, inilah cara Tuhan memperhatikan makhluk-Nya, mungkin juga Allah menjanjikan kehidupan yang jauh lebih istimewa di kemudian hari, atau Dia sedang menguji cinta dan kesabaran hamba-Nya dengan cobaan yang tiada henti, dan bisa jadi Sang Maha Adil itu ingin menjadikan mereka manusia-manusia pilihan sehingga (dengan derita itu) diakhir hayatnya tetap ingat dan dekat kepada Rabbnya.
Bukankah para Nabi Allah selalu mendapatkan cobaan yang teramat berat sehingga mereka menjadi manusia-manusia pilihan. Lihatlah Adam as yang harus menerima hukuman Allah terlempar ke bumi atas kelalaiannya. Bagaimana pedihnya penderitaan Ayub as atas penyakit dan kemiskinan yang melandanya, cemoohan dan hinaan yang diterima Nuh as atas keteguhannya, kesabaran Ibrahim as untuk menyembelih Ismail sebagai bukti cintanya kepada Allah setelah bertahun-tahun menunggu hadirnya sang buah hati, juga keikhlasan Ismail as atas perintah Allah kepada ayahnya. Jangan pernah menganggap kekayaan yang berlimpah yang dimiliki Sulaiman as bukan suatu ujian, atau menilai keelokan wajah Yusuf as sebagai kenikmatan yang tidak akan dimintai pertanggungjawabannya. Bahkan manusia agung, kekasih Allah Muhammad saw pun tak hentinya menerima cercaan, hinaan, intimidasi dan ancaman pembunuhan berkali-kali.
Dunia dengan segala keindahannya juga menyimpan tidak sedikit lubang dan celah ujian dimana manusia akan melewatinya. Kelengahan, ketidaksigapan serta keteledoran yang terkadang menjadi sifat dasar manusia sering kali menyebabkan mereka kalah, hancur dan tenggelam oleh kehidupan. Tidak jarang ada manusia yang hari-harinya habis untuk mengeluh, waktunya tersita untuk meratapi betapa dirinya merasa menjadi orang yang paling menderita. Padahal tidak! Selain karena Allah tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan hamba-Nya, kebanyakan manusia mungkin lupa (ini juga sifat dasar manusia) bahwa ketika terlahir kedunia tanpa sehelai pakaianpun, manusia datang dengan tubuh yang kecil memerah, tanpa daya sehingga membutuhkan bantuan orang lain dalam menjalani hidupnya. Tangisan pertamanya didunia seolah memberitahu bahwa ia makhluk lemah. Namun tak satupun bayi-bayi mungil itu merasa cemas dan menolak terlahir kedunia yang penuh dengan cobaan ini. Kepolosannya menandai keiklasan dan kesiapannya mengarungi riak gelombang dunia fana. Lalu mengapa sekarang banyak manusia yang takut menghadapi cobaan, bahkan berusaha menghindar dari ujian yang seharusnya mereka lalui.
Mungkin inilah rahasia dari siklus hidup yang mesti dijalani yang telah diatur oleh Sang Khalik semenjak ia menjadikan alam dan seisinya, sejak Dia menciptakan manusia pertama dan menghadirkannya ke dunia. Bahwa ada yang terlahir, tumbuh, dewasa, menikah, tua dan mati, terus menerus siklusnya tak berubah, agar dapat diambil hikmahnya oleh manusia. Coba ingat ketika pertama kali masuk sekolah, meski awalnya dihantui kecemasan, tapi selangkah kaki ini memasuki halaman sekolah, maka seluas mata memandang betapa satu fase hidup bisa kita jalani dengan ceria dan semangat berprestasi. Begitu juga saat pertama memasuki dunia sesungguhnya menjadi orang dewasa, mencari nafkah, bayang-bayang menjadi pecundang dan kalah bersaing seolah sirna bila profesionalisme dan modal kecerdasan di kedepankan. Lalu memasuki jenjang pernikahan, saat seorang pria harus keluar dari ketiak orangtuanya dan berpisah untuk bersatu dengan pasangannya, atau saat seorang wanita berpindah dari pelukan hangat ayah bunda kepada satu kerelaan berjalan mengiringi seorang pria pilihannya. Awalnya akan merasa canggung, namun kebersamaan, kekuatan dua jiwa yang bersatu, kebulatan tekad dan visi yang sama menjadikan perjalanan rumahtangga sebagai satu fase yang begitu indah.
Lalu mengapa harus takut dengan cobaan, kalau sampai hari ini kita masih bisa menjalani hidup berarti kita telah mampu melewati semua fase sebelumnya yang entah disadari atau tidak penuh dengan cobaan. Kedepan, ujian dan cobaan itu tetap menghadang, tapi dengan segenap keyakinan yang teguh menempati seluruh sisi benak dan dada ini, kita pasti sanggup melewatinya meski ia sering terlihat sekokoh batu karang dilautan, sepanas api membara dan sebesar gunung menjulang. Jadi, untuk menjadikan diri ini manusia-manusia pilihan, jangan gentar melawan cobaan. Wallahu’alam bishshowaab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar